narxiz

peranan pencitraan pada diagnosis ikterus

Oleh H.F. Wulandari
Ikterus atau kuning pada bayi dan anak merupakan gejala yang dapat ditemukan pada praktek sehari-hari. Untuk mencari penyebab kuning umumnya pemeriksaan laboratorium dan pencitraan diperlukan. Pemeriksaan pencitraan awal yang digunakan pada gejala kuning adalah ultrosonografi (US). Ultrasonografi merupakan modalitas pencitraan yang noninvasive, nonradiatif dan dapat digunakan pada berbagai keadaan fungsi hati. Beberapa modalitas pencitraan lain yang dapat digunakan pada bayi dan anak kuning adalah CT scan, MRCP (magnetic resonance cholangiopancreatography) dan kalongiagrafi.

Kuning pada neonatus
Kuning pada neonates dengan kolestasis paling sering disebabkan oleh hepatitis neonatal dan atresia bilier. Penyebab lainnya termasuk bile duct paucity, inspissated bile sydrom dan kista duktus koledoktus. Ultrasonografi umumnya digunakan untuk mencari adanya obstruksi system bilier.

Hepatitis neonatal dan atresia bilier
Neonatal hepatitis dapat disebabkan oleh beberapa penyebab antara lain hepatitis serum, virus sitomegalo, herpes simpleks, toksoplasma, rubella, protozoa dan defek metbolik, sedangkan penyebab atresia bilier masih belum jelas.


Ukuran hati dan eksogenisitas parenkim hati pada kedua kelainan ini dapat normal atau meningkat. Duktus biliaris intra hepatic pada keduanya tidak jelas.
Pada atresia bilier sisa duktus biliaris ekstra hepatic dapat memberikan gambaran struktur ekogenik yang berbentuk triangular atau tubuler dengan tebal > 2,5 mm di cranial dan bifurcation vena porta. Gambaarn ini disebut sebagai triangular cord. Beberapa peneliti menemukan sensitivitas dan spesifitas yang cukup baik dan triangular cord sign. Penelitian kamagawa mendapatkan sensitivitas 93% dan spesifitas 96%, sedangkan visruturatna melaporkan sensitivitas sebesar 95,7%. Walaupun demikian negative palsu dapat terjasi pada atresia bilier awal ataua pada system bilier yang hipo/aplastik. Positif palsu dapat terjadi pada ederma periportal dan sirosis hepatis lanjut.

Pada hepatitis neonatal kandungan empedu dapat normal atau kecil, sedangkan pada atresia bilier kandung empedu umumnya kecil atau tidak ada. Walaupun demikian kandung empedu yang normal dapat ditemikan pada 10% kasus atresia bilier. Sensitivitas ukuran kandungan empedu dalam mendiagnosis atresia bilier adalah 71% dengan spesifitas 72%.
Kontraksi kandung empedu setelah makan lemak/minum susu merupakan tanda patensi duktus hepatikus dan common bile duct. Kontraksilitas kandung empedu dalam mendiagnosis atresia bilier mempunyai sensitivitas 85% dan spesifitas 71%.
Beberapa pemeriksaan pencitraan lain yang dapat membedakan hepatitis neonatal dan atresia adalh sebagai berikut :
• Skintragrafi
pemeriksaan ini baik digunakan untuk membedakan hepatitis neonatal dan atresia bilier pada bayi dengan usia < 3 bulan, oleh karena itu setelah usia tersebut pasien dengan atresia bilier akan memberikan gambaran skintigrafi yang sama dengan hepatitis neonatal.
• MRCP
pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai patensi duktus bilier intra dan ekstra hepatic.
• Kolangiografi
kolangiografi dapat dilakukan secara perkutan (PTC) atau operatif.

Inspissated bile syndrome
Inspissated bile syndrome merupakan obstruksi ekstar hepatic oleh karena adanya sludge. Sluge dapat tampak di kandung empedu atau dalam duktus bilier yang menyebabkan obstruksi parsial atau komplit. Duktus bilier yang melebar sering kali sulit ditentukan ileh karena terhalang oleh parenkim hati disekitarnya. Beberapa hal yang berhubungan dengan keadaan ini antara lain hemolisis massif, nutrisi parenteral total dan obstruksi usus.

Kista duktus kolektikus
Kista duktus kolektikus merupakan dilatasi congenital common bile duct. Kelainan ini ditemukan sebanyak 30% kasus pada usia 1 tahun dan 50% antara 1-10 tahun serta 20% pada usia selanjutnya. Terdapat beberapa tipe Kista duktus kolektikus. Tipe 1 merupakan tipe yang terbanyak ditemukan (80-90%). Tipe V sering disebut sebagai penyakit Caroli dan merupakan kista intra hepatic yang multiple. Jika dilakukan US, Kista duktus kolektikus akan tampak sebagai massa kistik di daerah porta hepatis yang terpisah dari kandung empedu. Kista yang benar dapat mengandung sludge. Pada penyakit Caroli gambaran US terlihat sebagai struktur tubuler multiple yang berdilatasi. Struktur ini akan tampak sampai ke daerah perifer hati dan kadang-kadang berhubungan dengan suatu massa lainnya yang merupakan dilatasi fokal dari sebagian lagi sitem bilier. MRCP dan PTC merupakan pemeriksaan pencitraan lanjutan pada kista duktus kolektikus.

Kuning pada anak
Penyebab kuning pada anak dapat dikelompokkan menjadi penyakit primer hepatosit dan akibat obstruksi. Penyakit hepatoseluler dibagi dalam hepatitis (akut/kronik) dan metabolic. Hepatosis akut dapat disebabkan oleh karena infeksi, bahan toksis atau obat-obatan.

Pada hepatitis akut gambaran US yang tampak lebih bergantung pada derajat beratnya penyakit kuning dibandingkan agen penyebabnya. Ukuran hati dapat terlihat normal atau mebesar dengan eksogenitas parenkim yang menurun secara difus disertai dinding porta yang ekogenik. Pada hepatitis kronis gambaran US umunya menunjukkan peningkatan ekogenisitas parenkim dengan ekostruktur yang kasar disertai dengan penurunan visualisai pembuluh perifer vena porta.

Penyebab kuning akbat gangguan metabolic antara lain penyakit Wilson, defesiensi alpha 1 antitripsi, glikogen stroge disease dan tirosinemia. Gambaran US dari semua kelainan tersebut bersifat nonspesifik. Hati umumnya tampak hiperekoik dengan visualisasi pembuluh perifer vena porta yang menurun.
Obstruksi biliaris yang menimbulkan kuning pada anak dapat disebabkan oleh karena neoplasma atau batu. Neoplasma hati jarang ditemukan pada anak, walaupun demikian keganasan pada hati ditemukan 2% dari keseluruhan keganasan pada anak.

Kolesitasis dan koledokolitiasis
Kolesitasis dan koledokolitiasis jarang ditemukan pada anak. Gambaran batu pada US tampak sbagai focus ekogenik dengan acustic shadow di dalam kandung empedu sedangkan sludge merupakan struktur ekogenik tanpa acusitic shadow di dalam kandung empedu. Pelebaran duktus bilier intra/ekstra hepatic dapat terjadi pada kelainan ini.
Kolestiasis pada neonates umumnya akibat dari beberapa kondisi seperti :
• Anomaly congenital system biiaris yang obstruktif
• Riwayat nutrisi parenteral total
• Terapi dengan furosemid
• Fototerapi
• Dehidrasi
• Infeksi
• Anemia hemolitik
• System usus pendek
Pada anak yang lebih besar penyebab batu empedu umunya :
• Anemia hemolitik
• Nutrisi parenteral total
• Reseksi usus
• Kista duktus kolektikus

Koledokolitiasis bermanifestasi sebagai struktur ekogenik dengan acustic shadow di dalam duktus bilier yang umumnya berkolerasi dengan dilatasi duktus.
Hidrops kandung empedu

Kandung empedu mengalami distensi yang massif akan terapi ketebalan dindingnya masih normal. Pada anak yang lebih tua, besar dan bentuk kadung empedu yang sebelumnya ovoid berubah menjadi konveks. Hidrops kandung empedu umumnya terjadi akibat :
• Stasis biliaris oleh karena dehidrasi atau puasa yang lama
• Riwayat nutrisi parenteral total
• Sidrom Kawasaki
• Sepsis
• Leptopirosis
• Askariasis
• Demam tifoid
Apabila kondisi-kondisi tersebut diatas telah diatasi maka bentuk kandung empedu akan kembali normal.

Sirosis hepatis
Sirosis hati merupakan tahapan akhir berbagai penyakit hati. Parenkim hati yang normal diganti oleh fibrosis dan regenerasi nodular. Pada US, lobus kanan dan segmen medial lobus kiri hati tampak kecil dengan hipertrofi kompensasi dari segmen lateral lobus kiri hati dan lbus kaudatus. Ekostruktr hati kasar dan heterogen dengan pola yang nodular. Tanda sekunder akibat sirosis termasuk asites dan hipertensi porta sering ditemukan. Pemeriksaan US dupleks dan Doppler berwarna terhadap pembuluh darah penting dilakukan pada pasien dengan penyakit hati kronis untuk menetukan adanya tanda-tanda hipertensi porta dengan menilai antara lain :
• Apakah aliran pada vena porta hepatopetal atau hepatofugal
• Apakah terdapat varises dan kolateral
• Bagaiamana aliran darah pada arteri dan vena hepatica

Kesimpulan
Ultrasonografi merupakan modalitas pencitraan awal yang dapat membedakan penyebab obstruktif atau nonobstruktif pada bayi dan anak kuning. Ultrasonografi besifat tidak invasive, non radiatif dan dapat dilakukan pada berbagai keadaan fungsi hati.

Dari : Diagnosis dan tata lakasana penyakit anak dengan gejala kuning; FKUI 2007






Read More......
narxiz

Ginekologi : kasinoma Kanker Cervix

Oleh : Daril R, Nurjannah
Download materi ini Klik di sini

I. Definisi
Kanker cervik adalah keganasan/malignant di daerah cervik uteri atau area cervical(Anonim (c), 2008). Terdapat beberapa tipe sel kanker cervik yaitu (Anonim (b), 2008)
a. squamous cell carcinoma (70%-80%)1
b. adenocarcinoma (15% )2
c. adenosquamous carcinoma
d. small cell carcinoma
e. neuroendocrine carcinoma


Sumber : (Zeller et al,2007) dan (Anonim (c), 2008)
Gambar 1. Anatomi Sistem Reproduksi wanita dan letak kanker cervik






Kanker serviks sebenarnya merupakan kanker yang kejadiannya dapat diterapi hingga sembuh dengan mempertimbangkan stage/tahap mana seseorang terdiagnosa mula pertama.atau bahkan dapat dicegah sehingga status kanker dapat dihindari.

1,2 Prosentase penyebab angka kejadian kanker cervik

II. Etiologi
Infeksi virus mucosotropik human papiloma virus (HPV) merupakan penyebab utama kanker cervik. Lebih dari 100 jenis HPV telah ditemukan dengan tidak kurang 40 diantaranya mengancam saluran anogenitalia. (Franco et al, 2001) Namun jenis yang memiliki potensi sebagai pemicu timbulnya keganasan adalah HPV tipe 16, 18,31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58,59 dan 68 (Franco et al, 2001) sedangkan Tipe 16 dan 18 (yang oleh Int’l Agency for Research on Cancer diklasifikasikan bersifat karsinogenik terhadap manusia) bertanggung jawab terhadap 95 % angka kejadian kanker cervik (Anonim (c) ,2008).

Faktor resiko memiliki peran yang sangat besar terhadap timbulnya kanker cervik. Wanita yang beresiko terkena kanker cervik adalah yang memiliki riwayat genetic (keturunan), merokok, terinfeksi Chlamydia (serta infeksi lain akibat penyakit menular seksual), dalam kondisi imunosupresif, kelas ekonomi menengah kebawah, jumlah kelahiran hidup, aktivitas seksual yang tidak bijaksana dan kontrasepsi oral. Masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah dikategorikan factor resiko karena kemampuan secara ekonomi berperan dalam mencegah terjadinya/memburuknya kanker cervik.(Franco et al, 2001)



Gambar 2. Ilustrasi penyebab dan factor resiko yang berpengaruh pada kejadian kanker cervik
Sumber : (Franco et al, 2001)

III. Epidemiologi
Walaupun angka kejadian kanker cervik terus menurun pada negara industri maju, angkanya terus meningkat pada populasi wanita di negara – negara berkembang yaitu sebanyak 78% (bahkan kanker cervik merupakan penyebab pembunuh ketiga).(Anonim (a), 2008) Hal ini merupakan akibat dari keterlambatan dalam melakukan screening awal (pap smear) sebagai ekses keterbatasan sumber daya yang ada baik dana maupun manusia. Pengetahuan mengenai pentingnya screening dirasakan sangat rendah sehingga kebanyakan wanita yang terdiagnosa awal telah mencapai tahap invasif lanjut. Di seluruh dunia, kanker cervik merupakan kanker kelima penyebab kematian terbanyak pada wanita. Kanker ini menginfeksi 1 diantara 123 orang setiap tahun dan membunuh 9 setiap 100.000 setiap tahunnya. (Anonim (b), 2008)


Gambar 3. Pemetaan kanker cervik di area-area di dunia dengan klasifikasi epidemiologi Insiden setiap 100.000 jiwa
(Sumber : Schiffman et al, 2007)


IV. Patofisiologi
Kanker cervik merupakan kanker ginekologi yang pada tahap permulaan menyerang pada bagian lining/permukaan cervix. Kanker jenis ini tidak dengan segera terbentuk menjadi sel yang bersifat ganas melainkan secara bertahap berubah hingga akhirnya menjadi sel kanker. Tahap perkembangan ini yang kemudian disebut sebagai tahap pre-kanker (pre-cancerous yaitu displasia, neoplasia intraepitel cervik/CIN, dan lesi squamosa intraepitel/SIL) kanker cervik diawali dengan terbentuknya tumor yang bersifat bulky (benjolan) yang berada pada vagina bagian atas kemudian tumor ini berubah menjadi bersifat invasif serta membesar hingga memenuhi bagian bawah dari pelvis. Jika invasinya kurang dari 5 mm maka dikategorikan sebagai karsinoma dengan invasi mikro (microinvasif) dan jika lebih dari 5 mm atau melebar hingga lebih dari 7 mm maka disebut sebagai tahap invasif.

Pada tahap ini disebut juga tahap kanker dan membutuhkan evaluasi tahap perkembangan kanker/stage. Akhirnya, tumor tersebut berubah menjadi bersifat destruktif dengan manifestasi ulcerasi hingga terjadi infeksi serta nekrosis jaringan. Gambar 4 menunjukkan ilustrasi patofisiologi kanker cervik. (Anonim (c), 2008)

Infeksi HPV yang berjenis oncogenik merupakan factor utama penyebab kanker cervik. HPV merupakan virus tumor yang ber-DNA rantai ganda yang menyerang lapisan epitel basal pada daerah transformasi cervik dimana sel-selnya sangat rapuh. HPV menginfeksi cervik ketika trauma mikro terjadi atau erosi pada lapisan tersebut. Virus ini mampu menghindari deteksi system imun dengan cara membatasi ekspresi gen dan replikasinyanya hanya pada lapisan supra basal dan dapat tetap berada pada lokasi tersebut untuk jangka waktu yang lama. (Sharma et al, 2007)

Pada umumnya screening awal (pap smear) mampu mengidentifikasi abnormalitas namun pemeriksaan sebaiknya dilanjutkan melalui colposcopy, CT scan, atau MRI untuk mendapatkan hasil yang definitive. Federation of Gynecology and Obstetrics memberikan batasan mengenai tahapan-tahapan pada kanker cervik yang selanjutnya tahapan-tahapan ini menjadi langkah penting guna menentukan terapi


Gambar 4. Perjalanan penyakit kanker cervik dan waktu dimana screening dilakukan (uji Pap smear & uji HPV)
(Sumber : Schiffman et al, 2007)

Tabel 2. Tahap/stage kanker cervix versi Federation of Gynecology and Obstetrics (Anonim (c), 2008)



V. Gejala Klinik&Pemeriksaan Laboratorium
Wanita yang mengalami tahapan pre-cancerous hingga tahap awal dari perkembangan kanker umumnya tidak ditemukan adanya gejala yang spesifik atau keluhan yang berarti, hingga timbulnya gejala yang berupa perdarahan vaginal abnormal. Keluhan lain yang menyertai adalah spotting, rasa nyeri ketika intercourse dan ketidaknyamanan pada bagian vagina, masa manstruasi yang lebih lama serta volume darah yang lebih banyak seringkali menyertai.(Anonim (c), 2008)

Pemeriksaan yang spesifik sebenarnya dapat dilakukan yaitu dengan melakukan uji pap smear test ataupun dengan tes DNA HPV. Kedua tes tersebut dapat dilakukan tersendiri ataupun saling melengkapi. Karena keterbatasan sumber daya,pap smear lebih lazim dilakukan di negara-negara berkembang. Pap smear adalah suatu metode apusan seluler untuk melakukan screening terjadinya abnormalitas sel pada jaringan cervik, memiliki spesifitas tinggi (>97%) dengan sensitivitas yang rendah hingga sedang. Suatu tes pap smear dikatakan positif apabila ditemukan sel squamosa atipikal (atypical squamous cells of undetermined significance atau ASCUS).

Sedangkan HPV tes positif jika minimal ditemukan 1 pg DNA HPV per mm.(Mayrand et al, 2007). Kemudian, jika pap smear positif pasien dapat melakukan konfirmasi melalui tes kolposkopi, biopsi, CT scan, MRI dan tes visual. Tes ini selain untuk definisi juga dapat untuk menilai luasan kanker (tahapan/stage kanker) sehingga pilihan terapi dapat ditentukan. (Zeller et al, 2007) Oleh karenanya, uji pap smear dilakukan dengan frekuensi tertentu guna mengantisipasi sensitivitasnya yang rendah.



Gambar 5. Gambaran Pap Smear yang abnormal
Kotak A menunjukkan sel normal, Kotak B menunjukkan sel squamosa yang atipikal , kotak C Tingkatan awal lesi squamous
intraepitel , kotak D lesi squamosa intraepitel tingkat lanjut
Sumber : Sawaya et al, 2001

Rekomendasi screening dimulai pada kurang lebih 3 tahun setelah intercourse vaginal pertama kali atau sebaiknya tidak lebih dari usia 21 tahun. Kemudian, screening dihentikan pada wanita dengan usia 70 tahun atau lebih dan telah selama 3 kali atau lebih berturut-turut memberikan hasil negative pada screening sitologi dan atau selama 10 sebelum usia 70 tahun tidak memiliki abnormalitas tes sitologi. Pada wanita yang memiliki riwayat kanker cervik, dengan kondisi immuncompromise B C D A (misal HIV positif), dengan penyakit penyerta yang beresiko terhadap kanker cervik sebaiknya meneruskan screening kecuali hal tersebut dikontraindikasikan. Pada wanita yang telah melalui hysterectomy total tidak disarankan untuk melakukan screening kecuali jika terbukti terdapat indikasi benign. Namun, pada parsial hysterectomy, wanita dengan riwayat neoplasia intraepitel cervik (CIN2/3) dan memiliki riwayat terpapar DES (dietilstilbestrol) sebaiknya meneruskan screening sitologi. Interval screening dilakukan setiap tahun bila dilakukan menggunakan apusan konvensional atau setiap 2 tahun bila menggunakan uji sitologi berbasis air atau setiap dua hingga tiga tahun pada wanita yang setelah usia 30 tahun selama tiga kali pemeriksaan yang berturut-turut tidak menunjukkan hasil yang negative/normal kecuali jika hal tersebut dikontraindikasikan dengan keadaan wanita/pasien yang bersangkutan. (Saslow D., et al, 2002)

VI. Diferensial Diagnosa
a. Cervicitis
b. Perdarahan uterus disfungsional
c. Erosi uterus (ectropion)
d. Peradangan pelvis
e. Karsinoma endometrium
f. Efek samping IUD (alat kontrasepsi)
g. Hiperplasia endometrium
h. Vaginitis atrofi

VII. Prognosis
Progonosis kanker cerviks menurun sesuai meningkatnya tahap/stage keparahan kanker tersebut. Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) menerangkan bahwa kategori kanker cerviks adalah


Tabel 1. Prognosis kanker cervik dalam 5 years survival rate (%) adalah

VIII. Terapi
Tatalaksana terbaru untuk penanganan kanker cervik mengarah kepada penggabungan bersama terapi non farmakologi dan terapi farmakologi guna mendapatkan hasil yang maksimal.

a. Terapi non Farmakologi
Terapi non Farmakologi yang disarankan oleh NCCP adalah :
Operasi
Operasi adalah pilihan terapi yang dapat dilakukan pada tahap awal (tahap IA atau IB) dari kanker cervik (Anonim (a),2008).
Radioterapi
Radioterapi masih merupakan terapi pilihan hingga saat ini pada semua tahap/stage kanker cervik dan masih secara luas digunakan di negara-negara berkembang. (Jain et al, 2007)
Brachiterapi
Brachiterapi adalah suatu jenis terapi radiasi dengan metode yang memungkinkan pemberian radiasi dengan dosis tinggi pada tumor tanpa merusak jaringan di sekitar tumor tersebut (terlokalisir hanya pada bagian yang dikehendaki/tumor). Brachyterapi disebut juga dengan intracavitary radiotherapy. (Jain et al, 2007)
Terapi dengan kombinasi antara kemoterapi berkelanjutan dengan radioterapi (atau yang sering disebut dengan kemoradiasi) terbukti dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada keduanya secara monoterapi/sendirisendiri yaitu meningkatkan tingkat kesembuhan sebesar 80% dengan diagnose kanker cervik tahap awal (I dan II) sedangkan pada tahap III dapat meningkatkan 60%. (Anonim (a),2008)

b. Terapi Farmakologi
Terapi profilaksis berupa vaksin anti infeksi HPV tipe 6, 11, 16 dan 18 (merupakan terobosan baru yang telah disahkan oleh FDA pada tahun 2006 dengan brand Gardasil®. Vaksin ini terbukti selama 3 tahun mampu mencegah terjadinya intraepitel neoplasia tahap 2 dan 3 hingga 99 % (NCCN).

Vaksin Gardasil® merupakan vaksin HPV quadrivalen (tipe 6, 11, 16 dan 18) hasil rekombinan protein Virus-Like Particles (VLPs) pada Saccharomyces cerevisiae yang diperoleh dimurnikan. Pemurnian VLPs dilakukan secara kimia dan fisika menggunakan adjuvant yang mengandung aluminium (amorf Aluminium hydroksi pospat sulfat). (Sharma et al, 2007) Mekanisme kerja vaksin ini adalah dengan menghasilkan respon imun humoral dengan menginduksi antibody penetralisir virus yang spesifik terhadap gen sehingga mampu mecegah infeksi HPV. (Sharma et al, 2007)

Namun demikian ada beberapa batasan yang menjadikan vaksin profilaksis yang menjanjikan ini tidak dapat/belum memberikan hasil yang baik bagi wanita yang memiliki factor resiko terinfeksi HPV. Wanita yang telah terinfeksi HPV, yang terinfeksi HPV dengan tipe yang tidak dicakup oleh Gardasil® (31 dan 45), hambatan penggunaan yang berimbas pada kemampuan ekonomi. Juga, Wanita dengan kehamilan atau sedang menyusui dikontraindikasikan, yang memiliki hipersensitifitas terhadap senyawa pembawa atau protein vaksin itu sendiri merupakan pembatas penggunaan vaksin ini. Hal lain yang membatasi penggunaan Gardasil® adalah indikasinya hanya pada wanita dengan interval 9-26 tahun serta adanya efek samping yang cukup serius.

Efek samping yang ditemukan adalah appendicitis, penyakit peradangan pelvis, dan gastroenteritis (0.2-0.3 %) sedangkan yang umum terjadi (>1%) adalah n/v, nasofaringitis, pusing, diare, myalgia, malaise, athralgia, batuk, ISPA, nyeri gigi, dan insomnia (Sharma et al, 2007 et al)

Terapi Farmakologi/regimen kemoterapi yang direkomendasikan oleh NCCP :
Kombinasi terapi lini pertama adalah
• Cisplatin/paclitaxel
• Cisplatin/topotecan
• Cisplatin/gemcitabin
• Carboplatin/paclitaxel
Lini kedua adalah
• Docetaxel
• Ifosfamid
• Vinorelbin
• Irinotecan
• Epirubicin
• Mitomycin
• 5-FU

Regimen kemoradiasi yang disarankan adalah cisplatin sebagai monoterapi atau dikombinasikan dengan infuse 5-FU setiap 3-4 minggu. Regimen ini dapat menurunkan resiko kematian pada pasien kanker cervik, pada kasus kekambuhan ataupun pada pasca hysterectomy jika dibandingkan dengan RT sebagai monoterapi. Pada kasus dengan kehamilan, prosedur operasi dengan metode loop electrosurgical excision procedure (LEEP) dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Sedangkan kemoradiasi sebaiknya diberikan setelah minggu ke-13 namun pada tahap awal terapi dapat ditunda hingga janin matang. Efek pengobatan jangka pendek tidak memberikan efek yang berarti bagi keturunan namun demikian kajian jangka panjang perlu ditelaah lebih lanjut.(Anonim (a), 2008)

Tatalaksana terapi kanker cervik menurut NCCN (Anonim (a), 2008)
1. Menentukan screening awal dengan metode pap smear atau tes DNA HVP
2. Jika positif, dilakukan tes lanjutan menggunakan CT x-ray, biopsi, tes visual jika diperlukan serta analisa darah (LFT,RFT,CBC,platelet) serta tes lain yang diperlukan.
3. Penentuan tahap klinis setelah dikelompokkan menggunakan tahap/stage versi FIGO.

Tahapan klinis dibagi menjadi 4 yaitu :
_ Stage Ia1
Pada tahapan ini terapi pilihannya adalah operasi baik dengan histerektomy ekstrafasial maupun dengan histerectomy radikal dimodifikasi yang ditambah dengan dissectio nodus limfe pelvis (jika telah teridentivikasi terjadi invasi limfovascular)
_ Stage Ia2, Ib1, IIa ( < 4 cm)
Pilihan terapinya adalah dengan histerectomy radikal atau dengan brachyterapi yang ditambah dengan radioterapi atau dengan trakelectomy radikal yang ditambah dengan dissectio nodus limfe pelvis.
_ Stage Ib2, IIa (> 4 cm)
Pilihan terapinya adalah histerctomy radikal ditambah dengan dissection nodus limfe pelvis ditambah dengan sampling para-aorta nodus limfe atau radioterapi pada pelvis ditambah dengan kemoterapi berbasis cisplatin ditambah brachyterapi atau radioterapi ditambah kemoterapi berbasis cisplatin ditambah brachyterapi ditambah histerectomy adjuvant.
_ Stage Ib2, IIa, IIb, IIIa, IIIb, IVa (bulky/benjolan massa)
Untuk tahap ini ada beberapa langkah tambahan, ditinjau atau apakah diperlukan pemeriksaan dengan prosedur operasi (misalkan ekstra peritoneal atau laparoscopi nodus limfe disectio) ataukah menggunakan pencitraan radiologik. Baik dengan prosedur operasi maupun secara pencitraan radiologi menunjukkan hasil positif maka diperlukan pemeriksaan lanjut untuk menentukan ada tidaknya metastase namun jika hasilnya negative maka terapi dengan radioterapi ditambah kemoterapi berbasis cisplatin dan ditambah brachyterapi merupakan pilihan pertama. Dosis total radioterapi ditambah brachyterapi yang direkomendasikan adalah > 85 Gy. Pemilihan terapi sesuai pemilahan tahapan klinis diatas.

Daftar Pustaka
Anonim (a), 2008, Cervical Cancer, NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology V.1.2008
Anonim (b), 2008, Cervical Cancer,diunduh dari URL : www.wikipedia.com
Anonim (c), 2008, Cervical Carcinoma,diunduh dari URL : www.patient-UK.com
Franco, E.L., Duarte-Franco, E., Farenczy, A., Cervical Cancer : Epidemiology, Prevention and The Role of Human Papillomavirus Infection, CMAJ 2001;164(7):1017-25
Jain, V.S., Singh, K.K., Shrivastava, R.V., Saumsundaram, K.V., Sarje, M.B., Jain, S.M., Radical Radiotherapy Treatment (EBRT+HDR-ICRT) of Carcinoma of The Uterine Cervix : Outcome in Patients Treated at a Rural Center in India, J Cancer Res Ther 2007;3:211-217
Mayrand,M.H., M.D., Duarte-Franco, E., M.D., Rodrigues I., M.D. Walter S.D., Ph.D., Hanley J., Ph.D., Ferenczy, A., M.D., Ratnam S., Ph.D., Coutlée F., M.D., Franco, E.L., Human Papillomavirus DNA versus Papanicolaou Screening Tests for Cervical Cancer, N Engl J Med 2007;357:1579-88
Saslow D, Runowicz CD, Solomon D, Moscicki AB, Smith RA, Eyre HJ, Cohen C. American Cancer Society guideline for the early detection of cervical neoplasia and cancer. CA Cancer J Clin 2002;52(6):342-62
Sawaya, G.F., M.D., Brown, A.D., A.B., Washington E.A., M.D., Garber A.M., M.D., Ph.D. Current Approaches to Cervical-Cancer Screening N Engl J Med 2001;344(21):1603-1607
Schiffman, M., M.D. M.P.H., Castle P.E., Ph.D., M.P.H., The Promise of Global Cervical Cancer, N Engl J Med 2005;353(20):2101-2104
Sharma, R., Sharma, C.L., Quadrivalent Human Papillomavirus Recombinant Vaccine : The First Vaccine for Cervical Cancers, J Cancer Res Ther 2007;3(2):92-95
Zeller, J.L., M.D., Glass, R.M., M.D., Carcinoma of The Cervix, JAMA2007;298(19):2336


Read More......
narxiz

Ikterus Hemolitik pada Neonatus

Download materi ini, Klik Di sini

Ikterus adalah pewarnaan kuning yang tampak pada kuli yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin. Biasanya mulai tampak pada sclera, wajah dan kemudian meluas secara sefalokaudal kea rah dada, perut dan ekstrimitas. Bilirubin adalah hasil pemecahan sel darah merah (SDM). Sel darah merah ftus dan neonates berbeda engan SDM pada anak yang lebih besar, memiliki jenis Hb yang berbeda, sifat membrane yang berbeda dan usia yang lebih singkat. Hemoglobin (Hb) yang berada dalam SDM akan dipecah menjadi bilirubin. Satu gram Hb akan menghasilkan 34 mg bilirubin. Bilirubin ini dinamakan bilirubin indirek dank an diangkut ke hati dalam ikatan dengan albumin. Di dalam hati bilirubin dikonjugasi oelh enzim glukoronid transferase menjadi bilirubin direk yag kemudian akan disalurkan melalui saluran empedu di dalam dan di luar hati ke usus. Di dalam usus bilirubin direk ini akan terikat oleh makanan dan dikeluarkan sebagai sterkobilin melalui dubur. Apabila tidak ada makanan dalam usus, bilirubin direk akan diubah oleh enzim di dalam usus beta-glukoronidase menjadi bilirubin indirek yang akan diserap kembali ke dalam aliran darah, diikat oleh albumin kembali ke hati. Mekanisme ini disebut sirkulasi enterohepatik.


Ikterus pada neonatus

Ikterus pada neonates dibagi menjadi ikterus fisiologis dan ikterus nonfisiologis. Ikterus fisiologis mempunyai sifat :
- Timbul setelah 24 jam
- Berlangsung kurang lebih 7 -14 hari
- Terutama terdiri dari bilirubin indirek
- kadar tertinggi bilirubin total < 15 mg% dan bilirubin direk < 2 mg%
- Tidak ada keadaan patologis lain

Ikterus fisiologis terdapat pada kurang lebih 60% neonates dan disebabkan oleh :
- bilirubin selama masa janin dieksresi melalui plasenta ibu sekarang harus dieksresi sendiri
- jumlah eritrosit lebih banayak pada neonates
- lama hidup eritrosit pada neonates lebih singkat
- jumlah albumin untuk mengikat bilirubinpada bayi premature atau bayi yang mengalami gangguan
pertumbuhan intra-uterin kurang
- uptake dan konjugasi oleh hati belum sempurna
- sirkulasi enterohepatik meningkat
Ikterus nonfisiologis bisa disebabkan karena hemolisis berlebihan (biasanya yang meningkat bilirubin indirek) dan ikterus karena gangguan eksresi bilirubin (biasanyua yang meningkat bilirubin direk)

Bahaya peningkatan bilirubin
Bilirubin indirek yang larut dalam lemak bila menembus sawar darah otak akan terikat oleh sel otak yang kemudian rusak sehingga bayi menderita kenikterus, anak bertumbuh tetapi tidak berkembang. Bilirubin direk apabila bertumpuk di hati akan menyebabkan sirosis hepatis.

Ikterus karena inkompabilitas darah

Inkompabilitas ABO
Hemolisis akibat inkompabilitas ABO disebakan oleh adanya antibody anti A dan anti B yang masuk ke dalam sirkulasi fetus dan bereaksi dengan antigen A atau B pada permukaan sel darah merah. Pada mereka yang memiliki darah tipe A atau B secara alami terdapat anti A atau B dalam bentuk moleku IgM sehingga tidak dapat melewati plasenta. Sebaliknya pada mereka bergolongan darah O antibody terutama tediri dari molekul IgG. Dengan alasan ini maka inkompabilitas ABO biasanya terbatas pada ibi golongan darah O dengan fetus bergolongan A atau B. Adanya IgG anti A atau B pada ibu tipe O dapat menjelaskan hemolisis yang disebabakan inkomapbilitas ABO sering terjadi pada kehamilan pertama tanpa diperlukan sensititasi terlebih dahulu.
Inkompabilitas ABO jauh lebih ringan daripada inkompabilitas rhesus. Direct antiglobulin test (DAT) seringkali negative dan gejala hiperbilirubinemia tidak berat. Bila memerlukan transfuse darah yang digunakan adalah golongan darah O yang rhesus negative dan kalau mungkin dalam plasma golongan AB.

Inkompabilitas rhesus
Terdapat 5 antigen rhesus yaitu RhD, RhC, Rhc, RhE dan Rhe. Yang paling sering menyebabkan inkompabilitas adalah RhD dan RhC. Kelima antibody terdapat dalam 2 alel yaitu RHCE yag mengkode C, c, E dan e. sedangkan RhD hanya mengkode D. Fenotip Rh(-) disebakan adanya delesi dari RhD-RhD pada kedua kromosom. Dalam sebagian besar kasus, Fenotip Rh(-) juga diasosiasikan dengan Rhc dan Rhe. Fenotip Rh(+) bisa terdapat pada homozigot dari DD dan heterozigot Dd.

Patofisiologi
Jumalh darah fetus yang diperlukan untuk menyebabkan inkompabilitas rhesus bervariasi. Kadang-kadang 1 ml darah dapat membuat sukarelawan dengan darah rhesus negative menjai tersensititasi. Studi lain menunjukkan bahwa 30% dari individu dengan rhesus negative tidak terjadi inkompabilitas rhesus walaupun diberikan jumlah darah rhesus positif yang cukup banyak. Setelah tersensititasi diperlukan waktu kira-kira 1 bulan untuk antibody rhesus yang dibentuk ibu masuk ke dalam sirkualsi fetus. Pada 90% kasus sensitasi ini terjadi pada masa persalinan. Oleh karena itu, anak pertama dengan rhesus positif dari ibu rhesus negative tidak terpengaruh oleh karena paparan yang sangat singkat dari paparan persalinan sehingga tidak cukup untuk membentuk antibody IgG ibu yang bermakna.

Resiko dari parahnya respons sensitisasi meningkat sesuai dengan kehamilan berikutnya bila bayi rhesus positif. Pada waniata yang beresiko dengan inkompabilitas rhesuskehamilan kedua dengan janin rhesus positif sering menyebabkan bai mengalami anemia ringan, namaun kehamilan berikutnya (ketiga dst) dapat menyebabkan janin meninggal dalam kandugan akibat anemia hemolitik.
Resiko terjadi sensitisasi tergantung dari 3 faktor berikut :
1. Volume perdarahan transplansental
2. Cakupan respons imun hormonal
3. Inkompabilitas ABO yang terjadi bersamaan

Kejadian inkompatibilitas Rh pada ibu Rh negatif dan dengan inkompatibilitas AO menururn secara beakna menjadi 1-2% dan tetap terjadi karena serum ibu mengandung atibodi terhadap golongan darah ABO janin. Beberapa sel darah merah janin yang bercampr dengan sirkulasi ibu dihancurkan sebelum sensitisasi Rh terjadi. Untungnya inkompatibilitas ABObiasanya tidak menyebabkan gejala sisa yang serius.
Diagnosis dapat dilakukan secara antenatal dengan cara melihat Optical Density (OD) dari cairan amnion. Peningkatan IgG antiD ibu dapat menandakan ibu telah tersensitisasi tetapi tidak dapat memperkirakan beratnya gejala yang kan timbul lebih baik memeriksa secara spektrofotometri jumlah pigmen bilirubin dalam cairan amnion. Bila OD cairan amnion berada di zona 3 maka bayi memiliki resiko yang besar untuk meninggal atau terjadi hidrops fetalis yang berat. Bial berada di zona 2 menandakan ada hemolisis yang ringan atau sedang/ zona 1 menentukan bahwa bayi tidak tersensitisasi atau hanya berupa hemolisis yang sangat ringan.

Hidrops fetalis dapat didiagnosa secara dini dengan menggunakan alat ultrasonografi dengan resolusi tinggi. Pmberian RhoGAM pada 72 jam setelah kelahiran telah dapat menurunkan kejadian hidrops fetalis.

Terapi untuk inkompatibilitas rhesus tergantung pada berat ringannya gejala yang terjadi. Pada gejala berat dapat dilakukan transfusi intrauterine.

Ikterus karena defesiensi enzim G6PD

Defesiensi G6PD adalah kelainan genetic yang diturunkan melalui kromosom X. terdapat kira-kira 300 varian defesiensi G6PD, walaupun diturunkan secara X-linked, gejalanya bisa dilihat pada anak perempuan yang homozigot. Anak perempuan juga dapat memperlihatkan gejala melalui lyonisasi atau bila mempunyai sindrom Turner. Defesiensi ini pertama kali itemukan pada 1958 oleh Newton dan Frajola serta Zinkham dan Lenhard pada 1959. Sejak saat itu, menjadi salah satu penyebab hiperbilirubinemia pada neonates. Sel darah merah dengan defesiensi G6PD tidak dapat mengaktifkan jalur metabolic fantose-fosfat sehingga tidak dapat memepertahankan dirinya terhadap stress oksidan. Varian defesiensi G6PD dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan derajat keparahannya.

Gejala hemolisis dan anemia pada sebagian besar defesiensi G6PD hanya terjadi apabila terjadi paparan dengan oba-obat yang mempunyai potensi sebagai oksidan atau setelah terjadi infeksi. Diagnosis defesiensi G6PD ditegakkan dengan pemeriksaan aktivasi G6PD di sel darah merah dan identifikasi mutasi G6PD dengan analisis DNA.

Terapi defesiensi G6PD pada neonates :
- fototerapi atau transfuse tukar untuk mencegah keadaan ikterus
- transfusi SDM untuk anemia bila Hb < 10g/dl
- menghilangkan paparan oksidan yang berkontribusi terhadap terjadinya hemolisis
- pebgobatan infeksi dengan obat-obatan yang tidak menyebabkan hemolisis
Hiperbilirubinemia yang berat dapat dicegah dengan suntikan intamuskular Sn-mesoporphyrin 6umol/kg BB lahir dala waktu 12-24 jam setelah lahir. Pemberian Sn-mesoporphyrin pada bayi-bayi dengan defesiensi G6PD dapat mengurangi penggunaan terapi sinar atau membuat terapi sinar tidak diperlukan lagi.
Ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI

Ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI dapat berupa breastfeeding jaundice (BFJ) atau Breastmilk Jaundice (BMJ).


BreastFeeding jaundice

selain mengalami ikterus fisiologis bayi yang mendapat ASI ekslusif juga akan mengalami BFJ. Penyebab BFJ adalah kekurangan asupan makanan biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu ASI belum banyak sehingga sirkulasi enterohepatik meningkat. Breastfeeding jaundice tidak memerlukan pengobatan dan jangan diberi air putih atau air gula.

Untuk mengurangi BFJ perlu tindakan sebagai berikut :
- bayi setelah lahir apabila memungkinkan diletakkan di dada ibunya untuk mencari putting dan setelah menemui puting biarkan menghisap payufara ibunya selama 15 menit. Untuk ini bayi kadangkadang memerlukan 60 menit atau lebih
- posisi dan perlekatan bayi pada payudara harus benar
- bayi disusukan sesuai dengan kemampuannya tetapi paling kurang 8 kali sehari
- jangan diberikan air gula, air putih atau apapun lainnya sebelum ASI krn akan mengurangi asupan susu
- monitor ASI apakah sudah banyak yaitu dengan melihat buang air kecil bayi paling kurang 6-7 kali sehari dan buang air besar 3-4 kali

Breastmilk Jaundice
Pada tahun 1963 Aries untuk pertama kalinya mendeskripsikan Brastmilk Jaundice. Karakteristik BMJ adalah kadar bilirubin indirek yang masih meningkat setelah 6-7 hari pertama, berlangsung lebih lama dari ikterus fisiologis yaitu 3-12 minggu dan tidak ada penyebab lainnya yang dapat menyebabkan ikterus. Penyebab BMJ berhubungan dengan pemberian ASI dari seseorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang disusukannya bergantung pada kemampuan bayi tersebut mengkonjugasi bilirubin indirek (misalnya seorang bayi premature akan lebih berat ikterusnya).
Penyebab BMJ belum jelas, namun ada beberapa factor yang diperkirakan memegang peran :
- terdapatnya hasil metabolism progesterone yaitu pregnase-3-alpha 20 beta-diol di dalam ASI yang menghambat uridine diphosphoglucocoronic acid (UDPGA) glucoronyl transferase
- adanya peningkatan konsentrasi asam lemak bebas yang nonesterefied yang menghambat fungsi glukoronid transferase di hati
- peningkatan sirkulasi enterohepatik oleh karena adanya 1) peningkatan aktivitas beta-glukoronidase di dalam ASI dan dengan demikian di dalam usus bayi yang mendapat ASI dan 2) keterlambatan flora usus bayi yang mendapat ASI
- defek pada aktivitas uridine diphosphoglucocoronil transferase (UGT1A1) pada bayi yang homozigot atau heterozigot untuk sindrom Gilbert.

Diagnosis BMJ
Semua penyebab ikterus harus disingkirkan. Melalui anamnesis dapat diketahui apakah anak sebelumnya juga mengalami ikterus. Sekitar 70% anak sebelumnya juga mengalami BMJ. Beratnya ikterus tergantung pada kematangan hati untuk mengkonjugasi kelebihan bilirubin indirek. Untuk kepastian diagnosis bila kadar bilirubin telah mencapai di atas 16 mg/dL selama lebih dari 24 jam adalah dengan memeriksa kadar bilirubin 2 jam setelah menyusu dan kemudian menghentikan pemberian ASI selama 2 jam (tentu bayi mendapat cairan dan kalori dari makanan pengganti ASI dan ASI tetap diperah agar produksi tidak berkurang). Setelah 12 jam kadar bilirubin diperiksa ulang, bila penurunan lebih dari 2 mg/dL maka diagnose dapat dipastikan dan bila kadar bilirubin kurang dari 15 mg/dL maka ASI dapat diberikan lagi.

Kadar bilirubin diperiksa ulang untuk melihat apakah ada peningkatan kembali. Pada sebagian besar kasus penghentian ASI untuk beberapa lama akan memberi kesempatan hati mengkonjugasi bilirubin indirek yang berlebihan tersebut, sehingga apabila ASI diberikan kembali kenaikannya tidak akan banyak dan kemudian berangsur turun. Apabila kadar bilrubin tidak turun maka penghentian pemberian ASI dilanjutkan sampai 18-24 jam dengan mengukur kadar bilirubin setiap 6 jam. Apabila kadar bilirubin tetap meningkat setelah penghentian ASI selama 24 jam maka jelas penyebabnya bukan karena ASI dan ASI boleh diberikan kembali sambil mencari penyebab ikterus lainnya.

Terapi ikterus neonatum secara umum adalah :
1. Mengobati penyebab
memberiakan antibiotic apabila penyebabnya infeksi
2. Memperbaiki Hidrasi
terutama dengan memberikan minum untuk memperbaiki sirkulasi enterohepatik
3. Terapi sinar
menggunakan sinar dengan panjang gelombang 450-460 nm, sinar biru 425-475 nm, sinar putih 38-
700 nm, indikasi terapi sinar adalah bila kadar bilirubin meningkat mendekati indikasi transfuse tukar biasanya kadar 4 mg di bawah kadar transfuse tukar
komplikasi terapi sinar antara lain suhu meningkat, dehidrasi, diare, kulit menjadi merah, dan psikologis.
4. Transfusi Tukar

Read More......

Blogger Templates by Blog Forum